JAKARTA - Reformasi 24 tahun lalu adalah gerakan emosi kolektif bangsa yang sesak nafas puluhan tahun dalam tekanan kebijakan sentralisasi pemerintah Orde Baru. Masyarakat sipil bangkit melawan pelestarian pemerintahan otoriterianisme yang berkedok penggagentunggalan Pancasila. Reformasi adalah serial semangat “kebangkitan” bangsa melawan setiap bibit, apalagi praktik otoriterianisme.
Duapuluh empat tahun kemudian, hari-hari ini peringatan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 2022) terkesan dingin dan senyap. Kurang terlihat adanya kebijakan negara menginisiasi pelestarian kebanggaan terhadap “kebangkitan” itu. Glorifikasi “maha karya” embrio semangat untuk “membangsa” wajib hukumnya. Guna memelihara jarak kedekatan sukma antar generasi. Menggelorakan semangat “kebangkitan” itu, penting untuk memulihkan semangat kebangsaan yang melepuh dan rada-rada redup dihajar wabah pageblug yang berkelebat menyambar negeri. Bagaikan gebrakan pedang sapu jagat wabah, pandemi covid 19 itu merontokkan nyaris seluruh dimensi kehidupan seantero dunia. Apalagi Indonesia.
Meskipun pemerintahan Jokowi baru memasuki tahun ketiga priode keduanya, ada kesan semangat resentralisasi terasa meninggi. Kelahiran sejumlah regulasi yang nir partisipasi publik menyempitkan ruang partisipasi publik, tapi membuka ruang perlawanan terbuka masyarakat sipil. Saluran demokrasi politik di Senayan yang tidak responsif, menyuburkan aneka penyimpangan: korupsi kebijakan dan korupsi uang negara merajalela yang notabene uang rakyat. Biangkeroknya adalah resentralisasi penyubur oligarki; penyebar bakteri korupsi. Resentralisasi adalah wajah lain yang lebih berbahaya dari pandemi.
Resentralisasi yang meluas dan melembaga mengancam remuknya amanat Reformasi yang bernama demokratisasi. Karena penyimpangan itu cenderung menjadi ventilator pendorong nadi besar melancarkan saluran nafsu dan praktik otoriterianisme. Juga menyuburkan oligarki. Sekaligus meluaskan korupsi. Apakah karena itu, secara alamiah bangsa ini mau tidak mau kudu menggagas lagi adanya “kebangkitan” baru melawan otoriterianisme baru itu? Sebuah pepatah Perancis kesohor datang menggoda, menyebutkan: L’Histoire se Répète (Sejarah Mengulang Dirinya Sendiri).
"Kita sekarang memerlukan reformasi jilid dua, tapi yang damai, peaceful second stage of reform. Kenapa, terutama saya kira (aspek) politik ya, politik kita memerlukan reformasi yang luar biasa, " kata Azyumardi Azra pada acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi (21/5/2022). Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu menilai, “demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran, bahkan semakin dalam beberapa waktu terakhir, salah satunya dengan munculnya proses resentralisasi”.
Sirkulasi akrobatik persekongkolan aktor politik produk reformasi, secara sadar mendorong penyempitan ruang demokrasi. Menyuburkan pemupukan peran serta kelompok oligarki. Dan menjadi pintu masuk budaya baru politik : money politic alias politik uang. Daripadanya tidak terbendung meluasnya praktik korupsi dengan berbagai turunannya.
“Dalam politik dan hidup publik, urusan pemerintahan dan kenegaraan makin tercampuri soal kekuasaan yang berkelindan dengan kepentingan bisnis. Oligarki nama situasi ini”, tulis Yanuar Nugroho, (Kompas, 20/05/2022). “Banyak politikus atau pengusaha yang menjadi pejabat publik tidak, tau tidak mau mengerti hakikat public policy”.
Lebih jauh, dosen di STF Diyarkara Jakarta itu menegaskan, “politisasi dan transaksi mewarnai pengambilan keputusan yang menentukan hidup-mati warga negeri. Akibatnya wacana tentang kebijakan makin miskin substansi dan tidak ada insentif bagi institusi publik dan pemerintahan, apalagi aparatur sipil negara untuk sungguh – sungguh mereformasi diri”, tambah Yanuar dalam artikelnya itu yang berjudul “Kebangkitan Bangsa”.
“Di tengah kebangkrutan moral dikalangan pemimpin, bangsa ini membutuhkan keteladanan moral yang luhur, yang dimulai dari para pemimpin, agar berdiri di garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia”. Ini kata Sukidi, (Kompas, Kamis 19/05/2022) dalam artikelnya berjudul: “Republik Ide, Pengorbanan, dan Kebangkitan Indonesia”. Alumni Harvard University itu mengatakan, “demokrasi elektoral yang dikendalikan politik uang telah memproduksi banyak pemimpin yang berjiwa kerdil.
Alih-alih memperjuangkan bangsa Indonesia yang bersih dari korupsi, sesuai amanah Reformasi, mereka justru bangga dalam memperebutkan kekuasaan dengan politik uang dan, konsekuensinya, menyelenggarakan negara dengan praktik korupsi. "Keserakahan telah memperbudak mentalitas pemimpin untuk menumpuk kekayaan pribadi dengan mengorbankan hajat hidup rakyat banyak”, tandasnya.
Menjadi keniscayaan, manakala eskalasi perlawanan masyarakat sipil yang dipusatkan di depan gedung parlemen semakin intens akhir-akhir ini. Perlawanan itu resultansi korektif kolektif kepada pusat kekuasaan. Yang sejatinya berfungsi portal penghalang korupsi. Malah bermutasi menjadi pusat industri reproduksi praktik korupsi yang nista.
Tercatat daftar panjang bukti ketidaksetiaan oknum pejabat lembaga politik trias politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif) kepada sumpah dan janji yang diniscayakan konstitusi. Didalam buku hitam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pada jejak digital di dunia maya: nama-nama sang koruptor itu tercantum. Tidak akan mungkin terhapus. Salah-salah menjadi memori horor anak turunan mereka.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini yang senyap menjadi warning serius. Apakah masih ada sisa-sisa benang merah sejarah patriotik menggandul di hati, di dada, di jiwa, di semangat dan pada perilaku sehari-hari bangsa ini.
Ataukah dengan penuh duka cita dan belasungkawa, kita terpaksa menyaksikan luruhnya roh “kebangkitan” nasional itu. Berubah menjadi “kebangkrutan” nasional. Pada dasarnya seluruh paparan kebijakan pemerintah yang asimetris tersebut diatas, bersumber dari tindakan “genting memaksa” yang dipaksa paksakan pemerintah. Korbannya adalah pada rusaknya penghormatan pada etika berbangsa dan bernegara.
Dengan tidak bosan – bosannya teman lama yang rajin mengirim pesan WhatsApp nyaris tiap subuh, kembali mengingatkan supaya saya mengulang lagi menulis begini: “Rakyat kecil menjerit kehilangan panutan. Mereka terus berteriak mencari pemimpin penyelamat. Mereka seakan akan beteriak : “Di mana Rasul kami ?”
Baca juga:
Tony Rosyid: Siapa Pasangan Ideal Anies?
|
JAKARTA, 23 Mei 2022
Zainal Bintang
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya